Friday, October 14, 2016

Untuk Langit, tentang Rinduku kepada Rumah


Aku tidak ingat saat itu semester berapa, yang kuingat adalah siang, ketika aku baru saja menginjakkan kaki di Bali, di lorong bandara, aku melihat sosok laki-laki. Seorang yang sangat aku cintai, yang kupanggil Bapak. Dari jauh, Bapak juga melihatku, dengan setengah berlari, aku pun menghampirinya.

Aku bahagia karena akhirnya bisa pulang. Namun, ada rasa yang lebih besar muncul daripada rasa bahagia itu. Aku merasa bersalah. Melihat banyak helaian rambut putih di kepala Bapak, juga kulit yang legam terpapar matahari dan keriput di wajahnya. Aku menjadi sadar, betapa lama waktu yang aku lewatkan tanpa menemaninya bertambah tua. Betapa banyak hari yang Bapak dan Ibu hadapi tanpa ada aku di samping mereka. Senyumku memudar mengingat hal itu. Sepanjang perjalanan aku merenung, sesekali mengajak Bapak ngobrol.

Langit, hari ini aku kembali mengulang memori itu.

Sudah 4 tahun lebih merantau di tanah orang, membuatku tidak serapuh dulu. Merindukan rumah tidak sesering dulu saat awal menempuh kuliah di Yogyakarta. Namun, seberapa lama berpisah dan jauh dari rumah, aku tetap ingin tinggal di rumah saja, jika bisa. Walaupun sederhana, sekamar berdua dengan adikku tetapi rumah tetaplah rumah, dimana ada orang-orang yang mencintai kita dengan tulus.

Aku memang orang yang ambisius. Mimpiku tidak main-main. Namun, di balik semua ambisi, mimpi, dan harapan, di tempat dengan ruang paling besar di otak dan hatiku, tetaplah keluarga.

Jaga mereka dari atas ya, langit.

Disini aku, pelan-pelan berjuang merealisasikan mimpi, untuk mereka. Semoga Tuhan selalu memberkati.

Friday, June 17, 2016

Tanya


Kau bilang kelabu tak akan nampak saat gelap

Kau bilang bintang menghapus luka langit malam

Kau bilang sepi itu menyenangkan

Aku ingin bertanya

Mengapa daun daun rela menjatuhkan diri

Melepaskan cintanya pada cabang pohon

Lalu rebah ke tanah yang kotor

Diinjak, diterbangkan angin dan terlupakan

Mengapa kehidupan mempertemukan

Kemudian, memisahkan.

Saturday, May 14, 2016

Bab Akhir Masa Kuliah

Hampir empat tahun. Menetap di sebuah kota yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, Yogyakarta. Melanjutkan pendidikan di universitas berlabel kerakyatan yang merupakan salah satu universitas terbaik di negeri ini. Kehidupan transisi dari masa remaja ke dewasa memang menantang sekaligus menyenangkan. Namun, masa transisi tersebut kini telah memasuki bab akhir.

Perjalanan ini dimulai dengan awal yang tidak mulus. Saat ospek fakultas, aku dijatuhi hukuman sangat berat karena akumulasi dari hukuman-hukuman sepanjang beberapa hari ospek. Aku harus menulis essay sepanjang 2000 kata. Awal memasuki kuliah, aku memang naïf. Manajemen waktu yang buruk membuatku tidak sempat mengerjakan tugas-tugas individu ospek fakultas. Waktuku kuhabiskan untuk mengerjakan tugas kelompok. Tugas kelompok dikerjakan oleh beberapa orang saja sehingga aku keteteran. Namun, hal tersebut tidak membuatku bermurung diri. Kuambil sebagai sebuah pelajaran. 

Kehidupan sebagai mahasiswa pun dimulai. Semester-semester awal adalah momen beradaptasi. Menjumpai teman baru yang berasal dari berbagai daerah, mulai menargetkan organisasi-organisasi kampus untuk mengembangkan soft skill, dan rajin masuk kelas karena belum ada kegiatan. Sebagai seseorang yang memiliki relasi sangat sedikit di kampus, semester awal menjadi sedikit berat. 

Menapaki pertengahan semester, kehidupan mahasiswa sesungguhnya mulai terasa. Menyeimbangkan antara urusan akademis, organisasi, dan kegiatan di luar kampus bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi jika belum terbiasa. Namun, aku selalu ingat kata senior yang pernah mengajukan pertanyaan suatu ketika saat aku wawancara. 

“Jika kamu mengikuti beberapa oganisasi, kemudian pada satu waktu kegiatan organisasi-organisasi dan kuliah terbentur, apa yang akan kamu lakukan?”

Aku menjawab dengan jawaban agak klise. Ternyata jawaban yang benar adalah sederhana: Skala prioritas. Aku pun menggunakan skala prioritas ini dalam membagi waktu selama aku kuliah. Kusematkan skala prioritas dalam otakku, hingga kini.

Seiring berjalan waktu, perkuliahan menjadi semakin kompleks. Setiap semester aku usahakan mengambil sks penuh dengan tetap berkontribusi pada organisasi. Lingkaran pertemanan mulai menyempit, tetapi relasi semakin luas. 

Mungkin hampir semua mahasiswa berjibaku membagi waktu 24 jam dalam sehari untuk aktivitas mereka. Kadang, saat perkuliahan, setengah kelas terlihat mengantuk. Entah itu kuliah pagi, siang, maupun sore. Sering juga terjadi hari yang sangat tidak dinantikan yaitu ketika kuliah pagi hingga sore (9 sks), semua mata kuliah berat dan semuanya kuis. Namun, inilah seni dalam hidup. Ketika kehidupan berjalan lancar, maka saat itulah kamu perlu mempertanyakan diri sendiri. Saat kehidupan terasa menantang, bersyukurlah karena kamu sedang dibangun menjadi seseorang yang lebih baik.

Namun, masa-masa tersebut akan segera terganti. Pelajaran yang kita dapat saat kuliah menjadi bekal untuk masa selanjutnya. Rasanya rindu sekali bercanda di kelas, mengerjakan tugas hingga larut, kuliah dari pagi sampai malam, membaca majalah di perpustakaan, dan kenangan lainnya saat kuliah. Mungkin nanti saat di dunia kerja, kita masih mengalami ini tapi tetap saja akan berbeda. 

Kawan, kita akan jarang berjalan kaki ke supermarket dan tempat makan lagi, main ke mall sama-sama saat tugas numpuk demi refreshing, naik bus ke malioboro, menginap dan bercerita hingga malam. Dulu setiap aku pulang dari kampus dan kos berantakan, aku memilih tidur di kos teman. Kini, aku harus memulai dari awal lagi, dan saat aku memulai dari awal, aku juga harus melepaskan akhir. 

Terima kasih kehidupan.