Aku tidak ingat saat itu semester berapa, yang kuingat
adalah siang, ketika aku baru saja menginjakkan kaki di Bali, di lorong
bandara, aku melihat sosok laki-laki. Seorang yang sangat aku cintai, yang
kupanggil Bapak. Dari jauh, Bapak juga melihatku, dengan setengah berlari, aku
pun menghampirinya.
Aku bahagia karena akhirnya bisa pulang. Namun, ada rasa
yang lebih besar muncul daripada rasa bahagia itu. Aku merasa bersalah. Melihat
banyak helaian rambut putih di kepala Bapak, juga kulit yang legam terpapar
matahari dan keriput di wajahnya. Aku menjadi sadar, betapa lama waktu yang aku
lewatkan tanpa menemaninya bertambah tua. Betapa banyak hari yang Bapak dan Ibu
hadapi tanpa ada aku di samping mereka. Senyumku memudar mengingat hal itu.
Sepanjang perjalanan aku merenung, sesekali mengajak Bapak ngobrol.
Langit, hari ini aku kembali mengulang memori itu.
Sudah 4 tahun lebih merantau di tanah orang, membuatku tidak
serapuh dulu. Merindukan rumah tidak sesering dulu saat awal menempuh kuliah di
Yogyakarta. Namun, seberapa lama berpisah dan jauh dari rumah, aku tetap ingin
tinggal di rumah saja, jika bisa. Walaupun sederhana, sekamar berdua dengan
adikku tetapi rumah tetaplah rumah, dimana ada orang-orang yang mencintai kita
dengan tulus.
Aku memang orang yang ambisius. Mimpiku tidak main-main.
Namun, di balik semua ambisi, mimpi, dan harapan, di tempat dengan ruang paling
besar di otak dan hatiku, tetaplah keluarga.
Jaga mereka dari atas ya, langit.
Disini aku, pelan-pelan berjuang merealisasikan mimpi, untuk
mereka. Semoga Tuhan selalu memberkati.