Monday, November 30, 2015

Menengok Ibukota

Jakarta, sudah lama tidak bersua. Kali kedua aku mengunjungimu, tidak banyak yang berubah
Aku paham mengapa banyak orang membenci Jakarta. Macet, banjir, dan copet mungkin beberapa dari sekian alasan yang ada di pikiranku. Anehnya, aku menyukai Jakarta yang punya beragam problematika. Jakarta adalah impianku sejak dulu. Walau aku sadar bahwa rasanya terlalu naif jika aku ingin bekerja di Jakarta. Seperti kebanyakan pendatang lainnya, aku merasa Jakarta membawa banyak kesempatan untuk meraih mimpi-mimpi besarku.
Minggu pagi tanggal 22 November, aku dan beberapa teman berkesempatan pergi ke Jakarta. Kami berangkat dalam rangka lomba. Ini kedua kalinya aku ke Jakarta, dan dua-duanya dalam rangka lomba, bahkan di tempat yang sama. 

Entahlah. Aku pesimis. Lomba yang aku akan ikuti kulakoni tanpa persiapan. Aku hanya bergantung pada materi tutor akuntansi keuangan menengah yang aku berikan ke beberapa kelas. Aku menuju ke Jakarta dengan kereta. Ini juga pertama kalinya aku naik kereta. Sayangnya, aku tidak bisa menikmati pengalaman pertama kali tersebut. Hampir sepanjang perjalanan, aku membaca buku untuk persiapan lomba dan lebih banyak tidur karena kelelahan beberapa minggu terakhir.

Seusai perjalanan, aku malah mengalami flu. Namun, aku tidak ingin menyerah karena flu. Beberapa hari sebelum lomba berlangsung, aku ingin mematangkan persiapan walau ujung-ujungnya tetap tidak maksimal karena serangan flu dan kelelahan. 

            ***

Lomba berlangsung selama dua hari dan aku hanya sampai pada babak final. Aku puas. Tuhan sangat baik kepadaku. Hasil tersebut melebihi ekspektasi. Lomba audit yang aku ikuti kali ini memang cukup berbeda, lebih ke praktek audit. Sedangkan, kampusku tidak memiliki mata kuliah praktik audit. Kami benar-benar kalah dari para pesaing. Mereka hebat.

Kekalahan lomba tidak membuat aku murung. Sebaliknya, aku sangat bersemangat untuk menikmati Jakarta. Rabu pagi, kami pergi ke stasiun untuk kembali ke Yogyakarta. Nekat sekali karena belum beli tiket. Setelah "terlempar" dari satu stasiun ke stasiun lainnya, kami mendapatkan kereta jam 10 malam. Alhasil kami harus menunggu kereta berjam-jam. Saat inilah, aku dan teman-teman memutuskan untuk bermain di dekat stasiun, saat itu kami berada di stasiun pasar senen. Syukurnya, salah satu teman bernama Chris pernah bersekolah dekat sana. 

Tidak semua hal berjalan lancar pada hari kepulangan kami. Ya, salah satunya adalah tidak mendapatkan tiket kereta yang sesuai keinginan kami. Lebih dari itu, kami terutama aku membutuhkan perjuangan yang cukup besar. Aku sendiri membawa tas yang sangat berat ditambah ransel yang juga berat dan tambahan beberapa goodybag. Aku membawanya dari stasiun UI-Manggarai-Jatinegara-Pasar Senen. Saat di Pasar Senen, aku bahkan ingin menangis di tengah jalan. Kenapa tasku bisa seberat ini. Orang-orang yang turun dari kereta di Pasar Senen berdesak-desakan dan di belakangku bahkan ada yang bertengkar.

Pada saat menunggu kereta, aku, Meri dan Chris pun memutuskan untuk menitipkan bawaan kami yang berat tersebut di mantan sekolah Chris dulu. Walau dari stasiun hingga ke sekolah Chris kami juga butuh berjalan kaki tapi akhirnya semua beres. Akhirnya...

Untuk menikmati waktu, kami pergi ke Plaza Atrium. Makan ramen, melihat buku, melihat baju, makan donat. Rasanya kelelahan yang tadi terbayar sudah.Setelah waktu menunjukkan pukul 21.00, kami bergegas ke stasiun. Dari Plaza Atrium, kami melalui jembatan penyebrangan terlebih dahulu kemudian menumpangi Bajaj. Hari itu juga pertama kali aku naik Bajaj dan ternyata seru. Dari berbagai macam angkutan umum, Bajaj kini menjadi favoritku. Sesampainya di stasiun, kereta yang kami tumpangi ternyata cukup tepat waktu. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang.

No comments:

Post a Comment